Rabu, 25 Februari 2009

MEMFORMAT ULANG SISTEM PEMILU

Oleh:
ROBERT EDY SUDARWAN
KEPALA DEPARTEMEN INFOKOM
KAMMI KOMISARIAT IAIN RADEN INTAN LAMPUNG



Perubahan sistem serta wajah dunia politik Indonesia banyak ditumpahkan harapanya sejak pelaksanaan pemilu 1999. Hadirnya multi partai sebagai konstenta pemilu diharapkan dapat menguatkan kedaulatan rakyat di lembaga legislatif. Sehingga pada giliranya legitimasi rakyat atas penyelenggaraan Negara semakin meningkat tajam. Harapanya berawal dari inilah perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam semua aspek kehidupan akan terealisir serta Indonesia baru akan segera lahir. Hal ini jika semua proses dan sistem pemilu 1999, 2004 dan 2009 yang akan bergulir ini memegang teguh prinsip - prinsip kedaulatan rakyat, demokrasi dan hak asasi manusia.


Perjalanan "nasionalitas" Indonesia bukanlah suatu hal yang gampang dan tanpa ganjalan. Pengingkaran terhadap nasionalisme atas nama apapun pada hakikatnya sebagai upaya pemaksaan kehendak individu untuk memporak-porandakan tiga institusi penyangga pemerintahan (baca: trias poltika); eksekutif, legislatif dan yudikatif. Penumbangan terhadap ketiga lembaga tinggi Negara tersebut berarti peng-kafir-an dan pe-munafikan terhadap esensi norma - norma agama. Eksekutif merupakan lembaga penyelenggara khalifatullah fil-ardl (wakil Tuhan di bumi), Legislatif sebagai implementasi hukum-hukum Tuhan dan Yudikatif sebagai perwujudan dari upaya penegakan kebenaran dan keadilan Tuhan Yang Maha Benar dan Adil.



Tirani kapitalitas hari ini cukup menorehkan luka yang mengakar pada negeri ini. Pemerkosaan atas nasionalitas , pemasungan terhadap Trias Politika serta pengembangan primodialisme (baca: sectarian) membawa kepada stagnansi gerakan yang berujung pada pragmatisasi. Pembodohan intelektual yang melanda para elit berujung pada kemandulan ironitas kebijakan. Multi partai yang diharapkan menjadi solusi Indonesia baru, ternyata berujung pada efektifitas yang langka untuk di rindukan.



Peninjauan ulang terkait sistem pemilu dirasa penting untuk dijadikan agenda besar republik ini. Pemborosan yang terjadi merupakan gejala moral yang melanda bangsa dan harus kita benahi bersama. Citra konsumtif itu harus benar – benar kita retas dan kita buang jauh dari realitas yang ada. Kemampuan dan keinginan memformat ulang sistem pemilu ini haruslah berawal dari kesadaran akan azas efektifitas, mudorot dan manfaat. Semua itu haruslah berawal dari semangat kebersamaan untuk merubah dan membawa negeri ini kearah yang lebih baik.



Membangun kembali perpolitikan yang demokratis adalah suatu keharusan bagi kontinunitas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Melalui pemerintahan yang demokratis pula krisis berkepanjangan yang melanda bangsa ini di harapkan segera terselesaikan. Pesan reformasi yang bergema mengiringi lengsernya kepemimpinan Presiden Soeharto hingga saat ini baru akan terpenuhi dengan pemerintahan yang demokratis. Karena itu, pemilihan umum 7 Juni 1999 merupakan pintu bagi realisasi perjuangan reformasi. Sekaligus menjadi titik tolak bagi format ideal bangsa Indonesia yang memasuki millennium ke-3. Namun tenyata, cita untuk kearah itu karam di tengah luapan semangat reformasi yang berlebih. Atas nama HAM kebebasan menjadi bursa komoditas yang bisa digadaikan. Imbasnya kebijakan yang cenderung memakan energi dan pemborosan itu menjadi wacana utama.



Pertanyaan besar yang harus kita jawab bersama adalah "Apakah pemilu kali ini akan menghasilkan produk orang – orang yang berkualitas dan berkomitmen untuk membela nasib rakyat di Parlemen?". Jawaban itu bisa kita lihat dengan peliknya sistem yang harus kita format ulang. Realitas yang terjadi dengan banyaknya mesin politik justru membawa ke ironitas masyarakat yang cenderung pragmatis. Hal itu muncul dikarenakan adanya kejenuhan social dan mosi tidak percaya dari masyarakat. Budaya cerdas pada masyarakat yang belum terbangun membawa kearah money politik yang dimanfaatkan oleh para elit. Ahirnya berujung pada kristalisasi demokrasi yang stagnan.



Apakah realitas buram ini akan terus kita pertahankan?. Padahal kita tahu bahwa Amerika yang megusung ide multi partai di Indonesia ternyata di Negerinya menggunakan azas Dwi partai. Hal yang menjadi pekerjaan rumah buat semua elit di parlemen, mahasiswa dan seluruh entitas di semua lapisan masyarakat adalah, antara lain, pertama, kita kembali kepada perampingan mesin politik yang ada. Wacana multi partai ternyata tidak membawa kepada solusi cerdas untuk membangun negeri ini kearah yang lebih baik. Yang ada, semakin banyak partai maka semakin banyak pemikiran dan berimbas kepada pemaksaan suatu kehendak. Ironisnya adalah para elit di atas kurang bisa mengemas pluralitas itu menjadi komposisi bumbu yang sedap dalam membangun negeri ini. Keinginan untuk membangun bangsa ini melalui parlemen ternyata kandas dihantam kepentingan pribadi dan kelompok yang cenderung irasional.. Akibatnya, proses demokrasi yang kita dengung – dengungkan lebih banyak mudorotnya dan sulit untuk kita petik manfaatnya.



Ironitas hari ini yang melanda adalah dengan banyak wadah aspirasi politik ternyata membawa kepada pragmatisasi gerakan. Kecendrungan para caleg hari ini untuk menang bukan berdasar dari minat dan kesadaran untuk membangun negeri. Karena pasca putusan MK dalam penetapan DCT berpotensi menimbulkan konflik eksternal bahkan internal partai. Egositas itu muncul bukan hanya pada kerangka antar partai, tetapi pada ranah internal partaipun terjadi. Sehingga hilangnya identitas diri bahwa caleg adalah calon satelit penyampain aspirasi rakyat tidak dapat terelakkan.



Kedua, tampilnya pemimpin – pemimpin di panggung politik harus berawal dari rekrutmen dan pengkaderan yang benar di partainya. Produk – produk partai harus mempunyai daya jual dan kulitas terbaik wadahnya. Sehingga, ketika instrumen partai politik memainkan peranannya di kancah perpolitikan. Para kader sudah siap dan mampu bersaing dengan seluruh potensinya untuk ikut dalam membangun negeri ini. Semangat kebangsaan itu harus muncul sesuai dengan idelitas partainya. Bukan semangat materialitas yang hari ini menjadi trend para caleg – caleg di negeri ini.



Ketiga, perjuangan di parlemen tidak cukup hanya dengan janji – janji. Tetapi harus di wujudkan dengan idealitas yang tinggi dan semangat yang tulus. Efektifitas dan idealitas yang kita mimpikan bersama hendaknya menjadi cita besar dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan Negara. Semangat perjuangan itu akan muncul ketika kemasan sistem yang mewadahinya di pandang baik untuk kemaslahatan bersama. Permainan sistem yang baik akan benar terwujud ketika setiap kita menyadari bahwa ternyata sistem yang kita mainkan hari ini justru membawa ke efek perpecahan. Ketika hari ini kita masih terlarut dan terbingkai dengan permainan asing yang justru membawa kekerdilan untuk menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan, alhasil kita yang akan memetik buah kerugian itu.



Kebangkitan Indonesia baru merupakan era kedaulatan rakyat secara hakiki. Suara rakyat menjadi penentu bagi segala kebijakan para penyelenggara Negara. Karena itu, bukanlah pekerjaan ringan untuk merealisasikan era tersebut. Salah satu konsekuensi bagi perjalanan bangsa pasca pemilu yang di menangkan PDI-P di 1999 dan GOLKAR di 2004 , adalah kemampuan seluruh komponen bangsa mendengar kehendak suara terbanyak dalam pemilu tersebut. Tinggal yang menjadi pekerjaan bersama adalah keberanian kita untuk berani memformat ulang sistem pemilu yang di rasa membodohi itu. Agar energi kita tidak terkuras habis dengan realitas peperangan politik antar saudara di negeri ini. Sehingga energi ini benar – benar terfokus untuk pembangunan bangsa dan negara yang kita cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar