Sabtu, 25 April 2009

Pendidikan, Politik dan Kedewasaan

Oleh:
Robert Edy Sudarwan ( 0813 79 650001)
Kepala Departemen Infokom KAMMI Komisariat IAIN Raden Intan Lampung
Jln. Sentot Alisyabana. Gang Pembangunan H .No 13 Kelurahan Way Dadi. Kec. Sukarame BDL



Term "Reformasi" senantiasa menjadi mainstrem kelompok anti kemapanan di bumi pertiwi ini semenjak era sembilan puluhan. Pada mulanya mereka didakwa oleh pemegang kekuasaan sebagai musuh pemerintahan. Sikap kritis mereka atas penyimpangan kebijakan para penyelenggara negara dianggap melawan negara. Aktifitas ini melebar saat pemilu 1997, di mana kelompok status quo tidak menginginkan singgasananya tergoyahkan.


Krisis moneter berlanjut pada krisis ekonomi, krisis kepercayaan dan politik. Yang semua itu ternyata mampu menggiring terangkatnya kebenaran nilai-nilai yang dibawa oleh kaum reformis. Rakyat yang semula bersifat masa bodoh karena ekonominya tercabik – cabik dan termarjinalkan. Serta kemiskinan yang semakin meningkat membuat mereka tergerak untuk mendukung gerakan reformasi dari pada mengikuti segelintir elit yang menginjak –injak hak rakyat.



Ketika upaya perubahan sudah di dapat dengan berbagai liku dan rintangan yang ada. Perjuangan mahasiswa dan rakyat harus mempunyai tujuan dan arah yang jelas. Konstruksi era pasca Orde baru harapannya harus mampu mencerminkan pemerintahan yang kredibel, dipercaya rakyat, mengakar, bersih dari unsur KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Cita – cita untuk tidak sektarian serta mampu merealisasikan kejujuran, kebenaran, keadilan dan kemakmuran di bumi nusantara adalah harga mutlak yang harus diwujudkan.



Fakta yang muncul dalam proses reformasi pada langkah awal penataan bangunan pasca orde baru dalam buku "Islam Kebangsaan" yang ditulis oleh Prof. Said Aqil Siradji adalah dengan menurunkan para pejabat bermental "bunglon". Baik di lingkungan MPR, eksekutif, legislatif, yudikatif, ABRI dan semua lini pemerintah mulai tingkat pusat sampai kelurahan. Kemudian diteruskan dengan rekonstruksi perundang – undangan yang tidak relevan dengan reformasi. Seperti lima paket UU politik serta perundangan – undangan, inpres, kepres, perpu, permen, perda atau peraturan lain yang diproyeksikan untuk melanggengkan status quo rezim Orde Baru.



Walhasil konstruksi era pasca Orde Baru yang menginginkan pemerintahan yang benar – benar melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Menomorsatukan kebenaran dan kejujuran , menegakkan keadilan, menjunjung tinggi moral, ahlakul karimah dan, berperadaban. Serta memegang teguh prinsip – prinsip HAM dan benar – benar mewujudkan pemerintahan demokratis yang merakyat belum dikatakan maksimal. Ketika melihat realitas negeri ini yang semakin tidak dewasa dengan usianya yang menua.



Ironitas pelik yang muncul dan terjadi di kalangan elit politik tidak dapat dihindarkan. Wabah ketidakdewasaan di dalam bersikap dan bertindak merupakan cermin buram negeri ini. Tampak di seantero pelosok negeri banyak tampilan sikap yang tidak mencerminkan kedewasaan. Pesta demokrasi yang hanya dijadikan sebagai ajang perebutan kekuasaan. Dengan mengorbankan berbagai macam kepentingan demi tujuannya. Membawa masyarakat ke arah pragmatis dengan politik uang. Dan menghalalkan segala cara untuk mewujudkan cita – citanya adalah wujud dari ketidak dewasaan yang kita temui.



Lunturnya moral para kader dan simpatisan parpol pun tidak kalah mengkhawatirkan. Indikasi ini muncul ketika proses demokrasi di warnai dengan maraknya politik uang dengan kampanye yang terkesan pragmatis. Warna demokrasi yang semakin kehilangan identitas dengan sulitnya membedakan antara aksi artis dan aksi caleg. Yang lebih memilukan kebanyakan rakyat tidak menyadari itu semua. Banyak yang asik dan terlena dengan janji – janji muluk para caleg tanpa berpikir panjang untuk keberlangsungan negeri ini lima tahun kedepan.



Protret buram itu pun tidak hanya muncul pada kalangan rakyat yang ada di bawah. Realitas memilukan pun terjadi dikawasan elit. Munculnya gagasan untuk menyediakan Rumah Sakit Jiwa eksekutif bagi para caleg, sudah cukup mewakili bahwa di negeri tercinta ini budaya siap menang dan siap kalah tidak termanifestasi. Kedewasaan dalam berfikir dan bersikap sangat sulit kita temui di wilayah elit politik, walaupun tetap ada yang kredibel dan konsisten. Karena ketika orientasi untuk menjadi caleg hanya untuk mencari harta, maka akan sulit kita dapatkan alam demokrasi yang indah. Yang orientasi dari keberadaanya sebagai elit politik adalah semata – mata untuk membangun negeri.



Ketika perjalanan demokrasi semakin tersudut dengan orientasi yang lupa dengan tujuan awal reformasi. Maka yang menjadi penekanan hari ini adalah bagaimana kita bisa mengembalikan cita – cita awal itu. Munculnya sosok yang paripurna merupakan bagian dari tujuan bersama kita. Sosok pemimpin yang benar – benar diharapkan kapasitasnya demi membangun negeri ini. Bukan pemimpin yang miskin visi, miskin idelitas dan tidak mempunyai orientasi dalam arah perjalanannya.



Pendidikan politik menjadi tawaran penting untuk bisa di dapat oleh setiap elemen masyarakat di Negeri ini. Dengan itu harapanya dapat meningkatkan keridibilitas kita sebagai warga dalam menjalankan moralitas yang baik. Perbaikan moralitas politik menjadi suatu keharusan bagi upaya keluar dari badai krisis bangsa Indonesia. Karena moralitas merupakan tawaran ahir yang tidak dapat di tolak lagi demi terwujudnya cita – cita sebagai bangsa yang cinta kemakmuran. Tanpa ahlak dan prilaku manusianya yang baik, cita – cita untuk membawa bangsa ini lari dari keterpurukan akan sulit didapatkan.



Melihat kenyataan itu penanaman moral yang baik di wilayah elit hingga ke bawah sangat di butuhkan dan sangat substansif. Karena moralitas merupakan sesuatu yang dilakukan bukan diucapkan. Tindakan bukan tulisan, pelaksanaan bukan kekuasaan, pengamalan bukan hafalan, kenyataan bukan penataran, kata hati bukan diskusi, esensi bukan teori, realitas bukan identitas, afektif bukan kognitif , aplikatif bukan normatif, amaliah bukan ilmiah. Eksistensinya tidak bisa di buat – buat, dipalsukan atau hanya sekedar simbolik dan formalitas. Bagusnya teori, banyaknya ajaran, menumpuknya kitab, lancarnya hafalan, tingginya kedudukan dan jabatan, banyaknya harta bukan jaminan akan baiknya moral seseorang. Tidak mustahil seorang miskin papa, justru lebih bernoral ketimbang pejabat.



Moralitas yang luhur merupakan karateristik ketuhanan yang melekat dalam diri manusia. Tuhan akan memilih di antara hamba – hambanya yang taat untuk mewujudkan karakteristik tersebut. Karakteristik ketuhanan yang bersifat kekal, esensial dan substansial. Perbedaaan ras, suku, bahasa, bahkan agama tidak menjadi penghalang bagi realisasi moral yang mulia.



Sebagai salah satu bidang dalam kehidupan, politik jelas tidak dapat di pisahkan dari wacana moralitas (kode etik). Hampir setiap langkah warga negara di semua level selalu bersentuhan dengan bidang ini. Dalam Islam, concern umat terhadap politik sudah muncul semenjak awal lahirnya Islam. Pertikaian kaum muslimin dengan kaum musyrikin mustahil bisa diatasi jika tidak memakai strategi (baca: politik) yang jitu. Namun, politik yang dimaksudkan Islam jelas yang berperadaban, bermoral, humanis, tidak menghalalkan segala cara serta yang mengacu pada suatu kaidah fiqih (legalitas Islam). " Tasharuruful imam 'alar-ra'iyyah, manuthun bilmashlahah". Bahwa kebijakan penyelenggara negara atas rakyat senantiasa harus mengedepankan kemaslahatan. Dengan demikian dinamika kehidupan suatu negara, standarnya dilihat dari efektifitas penyelengara negara dalam mengimplementasikan aspirasi warganya.



Hakikat sebuah negara (bangsa) seperti organ tubuh manusia. Dimana otak menjadi pengatur semua aktifitas tubuh di bantu organ tubuh lainya. Jangan berharap menjadi manusia sempurna dan sukses, manakala otaknya masih kotor dan penuh obsesi syaitoniah. Kemuliaan seseorang (bangsa), manakala mampu menguras sifat ke-akuanya yang bersifat jasmani, di isi dengan sifat ketuhanan yang bersifat ruhani.



Reformasi moral, dengan demikian diharapkan mampu mengarahkan untuk mengubah sifat kemanusiaan seseorang menjadi sifat yang berketuhanan. Sehingga pendidikan moralpun di proyeksikan untuk dapat menjadikan wakil Tuhan di muka bumi. Namun menyamakan langkah tersebut bukanlah pekerjaan ringan dan gampang. Tidak semudah teori yang di baca dan dituturkan. Karena pada diri manusia selain di beri hati nurani yang senantiasa menegakkan karakteristik ketuhanan (al-khuluq), juga diberi hawa nafsu yang cenderung tergiur oleh materi yang nisbi dan instan.



Dengan demikian, perjuangan untuk mewujudkan iklim perpolitikan yang dinamis dan baik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pendewasaan politik pada setiap elemen mayarakat sangat dinantikan. Sehingga mosi tidak percaya dan degradasi moral yang muncul dalam masyarakat akan dapat terminimalisasi. Kuncinya adalah kembali kepada ajaran Agama masing – masing, dengan mengedepankan moralitas yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar